Hari masih pagi dan matahari belum lagi naik. Anak-anak sibuk dengan sarapannya dan saya makan pagi sambil membuatkan bekal buat mereka bawa ke sekolah. Tiba-tiba si sulung bertanya, “Mama, mengapa kamu tidak pernah tertawa?”
Dengan kening sedikit berkerut, saya bertanya kembali, “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Anak-anak kami suka sekali ngobrol di meja makan dan itu membuat waktu makan mereka lebih panjang. Kami sering sekali terlambat karena mereka belum bisa fokus dan cepat dalam bersiap-siap.
“Ya, karena kata guruku di sekolah, orang yang tertawa akan panjang umurnya. Anak-anak sering tertawa – bisa 300 kali dalam satu minggu. Tapi orang dewasa hanya empat kali tertawa dalam seminggu,” jawab anak saya. Sambil masih sibuk memikirkan barang-barang apa saja yang saya harus siapkan, saya menjawab, “Ya, mama pasti gampang tertawa kalau kalian menurut sama Mama. Tapi kalau kalian selalu susah mendengar dan tidak langsung tanggap apa yang mama perintahkan, bagaimana Mama mau gampang tersenyum dan tertawa?”
Pagi itu, ketika anak-anak pergi ke sekolah, saya duduk dan menemukan ayat ini di layar telepon saya:
Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!
Filipi 4:4 (TB)
Hati saya langsung tertegur. Anak saya benar, saya perlu tertawa, saya perlu bersukacita.
Arti bersukacita
Di dalam Alkitab berbahasa Inggris, sukacita diterjemahkan di dalam kata rejoice. Sukacita bukanlah sekedar perasaan senang. Sukacita bukanlah perasaan ya… happy sedikit, senyum yang dipaksakan lalu berkata dengan nada datar, “Iya, saya bersukacita kok.”
Rejoice di dalam bahasa Inggris berarti rasa bahagia yang begitu besar, begitu memenuhi hati kita sampai-sampai rasanya kita ingin mengangkat kedua tangan kita dan melompat tinggi untuk mengumumkan betapa kita bahagia! Seperti mahasiswa yang sudah bertahun-tahun belajar di universitas lalu lulus – melompat bahagia di dalam balutan baju wisudanya.
Bersukacita tanpa tergantung keadaan kita
Jawaban saya kepada anak saya ada benarnya. Bagaimana kita bisa bahagia, senang atau bersukacita kalau keadaan kita bukanlah keadaan yang ideal? Banyak kewajiban, sedang tidak sehat, keuangan yang tidak stabil, kehilangan pekerjaan, ditinggalkan teman – siapa yang bisa senang di dalam kondisi seperti itu?
Paulus di dalam suratnya kepada jemaat Filipi berusaha meluruskan pendapat yang salah ini. Sukacita bukanlah perasaan senang yang datang kalau kondisi sedang mendukung, lalu padam bila keadaan keadaan berubah. Sukacita adalah sebuah karunia, salah satu buah dari Roh Kudus, sebuah pemberian Tuhan bagi kita.
Paulus berkata, kita harus bersukacita di dalam Tuhan! Senantiasa! Bahkan sekali lagi, Paulus berkata: Bersukacitalah! Melompatlah dengan gembira! Dengan hati yang betul-betul gembira di dalam Tuhan!
Bersukacita di dalam Tuhan: berfokus pada kasih dan pemberian-Nya untuk kita
Bersukacita di dalam Tuhan bisa kita lakukan, dan harus dilakukan. Bagaimana caranya? Bagaimana cara bersukacita bila kondisi sedang tidak mendukung?
Kita perlu bersukacita di dalam Tuhan, artinya kita melepaskan pandangan dari kondisi di sekeliling kita maupun kondisi diri kita sendiri, dan mengarahkan hati kita kepada satu alasan utama mengapa kita menjadi anak-anak Tuhan: yaitu bahwa kita sudah diselamatkan oleh-Nya. Tuhan sudah memberikan segala sesuatu melalui pengorbanan-Nya di kayu salib untuk membebaskan kita dari dosa.
Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.
1 Petrus 1:8-9 (TB)
Kita belum bisa melihat Allah dan secara langsung bertatapan dengannya. Tapi kita mengetahui Dia mengasihi kita, dan kita pun mengasihi Dia. Seperti kita bisa bersukacita memikirkan pesta pernikahan yang sedang kita rencanakan – kita bisa juga bersukacita karena kita sudah mencapai tujuan iman: kita sudah mengalami keselamatan!
Allah ingin kita bersukacita
Allah ingin kita bersukacita, Allah ingin kita bergembira. Allah ingin kita antusias di dalam hubungan kita dengannya.
Coba bayangkan seorang ayah, yang ingin menyenangkan hati anak-anaknya lalu mengajak mereka berwisata ke sebuah taman hiburan. Tetapi apa reaksi yang dia dapatkan? Anak-anaknya memang mengikuti dia pergi ke taman itu, tetapi mereka tampak tidak antusias. Mereka berwajah datar, terus melihat ke telepon genggam mereka, tidak tampak tertarik dengan rencana-rencana sang ayah. Bagaimana perasaan sang ayah dalam kondisi seperti itu?
Sama seperti itu, Allah tidak mau anak-anakNya menjalani hidup dengan datar, dengan muka yang mungkin tidak suram tapi juga tidak bahagia. Dia ingin kita penuh dengan sukacita. Dan sukacita ini bukan hanya ketika kita sedang ada di gereja, hanyut dengan indahnya lagu-lagu penyembahan. Tidak, sukacita ini harus kita rasakan di dalam keseharian kita, dia dalam segala kegiatan kita, karena kita tahu bahwa di dalam setiap hal yang kita lakukan, ada Tuhan di sana.
Di dalam kitab Ulangan, berulang kali kita bisa menemukan perintah Allah bagi bangsa Israel untuk bersukacita, bersukaria atas keselamatan yang diberikan Allah bagi mereka.
dan haruslah engkau, orang Lewi dan orang asing yang ada di tengah-tengahmu bersukaria karena segala yang baik yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu dan kepada seisi rumahmu.”
Ulangan 26: 11 (TB)
Allah dimuliakan ketika kita bersukacita di dalam Dia.
Bersukacita baik bagi kita
Allah ingin kita bersukacita karena kita memuliakan Dia bila kita bergembira atas kebaikan-Nya. Tapi bukan hanya itu, Allah ingin kita bersukacita karena hal itu memang baik bagi kita.
Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang.
Amsal 17:22 (TB)
Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya, tetapi siapa akan memulihkan semangat yang patah?
Amsal 18:14 (TB)
Bergembira dan bersukacita bukanlah hanya baik bagi kehidupan iman dan jiwa kita, tetapi juga untuk kesehatan tubuh jasmani kita. Di waktu yang kita harus lewatkan di dunia ini, di mana kehidupan sudah tidak lagi sempurna seperti waktu di Taman Eden – kita membutuhkan satu ‘jurus’ untuk bisa melewati kehidupan dengan baik.
Caranya? Dengan hidup bersukacita. Bersukacita di dalam Tuhan. Ini bukanlah sekedar jurus positive thinking – tapi jauh lebih dari itu. Menyadari bahwa Sang Pencipta yang sangat mencintai kita ada di dalam semua hal yang kita lewati: hal inilah yang membuat kita bisa tetap semangat. Sehingga bila pun kita sedang ada masalah atau sedang berada dalam kesesakan, kita bisa tetap bersukacita!
Sukacita sejati bersumber pada Allah
Merenungkan semua ini, saya sadar bahwa saya perlu untuk senantiasa bersukacita. Dan semua itu tidak tergantung apakah anak-anak sedang patuh atau tidak, atau apakah kondisi sedang mendukung atau tidak. Tetapi tentu saja hal itu tidak selalu mudah untuk dilakukan, karena sebagai manusia, saya adalah manusia yang terbatas dan sering tidak mampu mengatasi perasaan saya.
Alkitab menyatakan bahwa sukacita sejati bersumber pada Allah. Sukacita yang sejati adalah karunia dan anugerah. Hal ini berarti kita bisa selalu datang kepada Allah untuk meminta Dia memenuhi hati dan jiwa kita dengan sukacita tersebut.
Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan.
Roma 15: 13 (TB)
Di kala kita sedang merasa tidak mampu bersukacita, datanglah kepada Allah. Tunduk berlutut di hadapan-Nya dan renungkan kebaikan-Nya. Mintalah kepada-Nya karunia untuk bersukacita itu, karena Allah tidak pernah menahan berkat dari anak-anak-Nya. Dia ingin kita bersukacita. Amin!