Sekali waktu saya sedang berjalan pulang ke rumah dan melewati rumah seorang tetangga. Saya memperhatikan betapa hijau dan rapinya rumput di halaman belakang rumah mereka – terpotong rapi dan hijau bak rumput di lapangan golf. Berbeda sekali dengan halaman belakang rumah kami yang tidak ada rumputnya, hanya ada batu-batu dan sedikit tumbuhan liar yang tumbuh di sela-selanya.
Oh, ternyata rumput buatan, pikir saya. Rumput buatan atau rumput sintetis terbuat dari bahan plastik yang dibuat menyerupai rumput asli lalu dipasang menutupi permukaan pekarangan. Rumput ini dapat tetap hijau apapun kondisi cuacanya. Rumput buatan dijual dalam bentuk seperti karpet yang bisa dengan mudah dihamparkan di taman kita. Tidak perlu repot menanam rumput, tidak membutuhkan banyak perawatan, dan rumah kita pun bisa terlihat ‘hijau’ dan asri.
Bukan hanya rumput, kepintaran manusia dan kemajuan teknologi memungkinkan terciptanya begitu banyak ‘barang buatan’. Benda-benda yang sebenarnya hanya bisa diciptakan oleh Tuhan sudah dapat dibuat tiruannya. Bunga plastik, gigi palsu, kaki palsu, pantai buatan, sampai-sampai bagian tubuh bisa direkonstruksi – baik untuk alasan kesehatan, maupun untuk memperbaiki penampilan.
Keindahan datang dari Tuhan tetapi rusak oleh dosa
Saya percaya bahwa kita manusia memiliki rasa cinta akan keindahan yang awalnya datang dari Tuhan. Di dalam proses penciptaan, dituliskan beberapa kali bahwa sesudah Allah menciptakan sesuatu, Dia berhenti dan melihat semuanya itu baik. Bisa kita bayangkan, bumi yang baru diciptakan oleh Allah pastilah sangat dan teramat indah dan sempurna. Begitu indah melebihi bumi yang kita huni sekarang.
Sejak awal, manusia memang ditempatkan di bumi untuk memelihara dan menjaganya. Allah memberikan kepada kita kemampuan untuk menilai sesuatu itu baik, benar ataupun indah, supaya kita tahu apa yang baik dan yang bagus untuk diusahakan.
Tetapi sejak manusia jatuh ke dalam dosa, pemeliharaan ini menjadi hal yang lebih berat untuk dilakukan. Bukan hanya jiwa dan hati manusia yang mengalami kerusakan, bumi pun menjadi rusak. Keinginan dan standard manusia akan keindahan pun menjadi tidak sempurna lagi. Kita tidak bisa melihat ‘keindahan’ sama seperti Allah melihatnya karena gambaran Allah yang ada di dalam diri kita sudah rusak.
Allah menilik bumi itu dan sungguhlah rusak benar, sebab semua manusia menjalankan hidup yang rusak di bumi.
Kejadian 6:12 (TB)
Manusia sering berfokus di luar saja
Jadi adalah naluri manusia untuk menjadi indah, untuk memiliki sesuatu yang indah, yang baik untuk dipandang. Sayangnya, hal ini kemudian menjadi sebuah masalah karena akhirnya kita menjadi mudah untuk terpaku atas keindahan lahiriah, atas hal-hal yang mudah dilihat oleh mata.
Wajah cantik, postur tubuh sempurna, rambut yang tebal dan sehat – semua itu menjadi tujuan dan keinginan begitu banyak orang. Dinding media sosial dipenuhi dengan selfie – sebuah usaha untuk membuktikan bahwa ‘saya’ ini menarik dan indah untuk dipandang.
Penampilan menjadi sebuah obsesi, dan untuk mencapainya, kita sering menjadi tidak sabar di dalam prosesnya. Dengan adanya kemajuan zaman di mana semua bisa diciptakan, manusia bisa menggunakan segala cara untuk tampil sempurna.
Standar keindahan yang sudah rusak ini juga sering menimbulkan tuntutan di hati manusia terhadap sesamanya. Terkadang kita sulit menerima orang-orang yang tidak sesuai dengan standar keindahan kita. Terkadang ada rasa tidak nyaman bila berada di dekat orang yang menurut subjektivitas kita mereka tidak ‘indah’ atau tidak sempurna.
“Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: “Mengapakah engkau membentuk aku demikian?” Apakah tukang periuk tidak mempunyai hak atas tanah liatnya, untuk membuat dari gumpal yang sama suatu benda untuk dipakai guna tujuan yang mulia dan suatu benda lain untuk dipakai guna tujuan yang biasa?”
Roma 9:20-21 (TB)
Saya pribadi merasa bahwa saya cukup bisa menerima semua orang dengan segala keadaan mereka. Tapi sejujurnya, ada saatnya bila saya bertemu dengan orang dari suku bangsa lain dengan feature fisik yang jauh berbeda dengan yang saya biasa temui, ada rasa jengah terasa di dalam hati. Rasa aman, rasa penerimaan menjadi tergantung kepada standar subjektif yang saya ciptakan sendiri.
Masalah yang banyak terjadi di zaman ini seperti aborsi, pertukaran gender, bahkan pemusnahan suku bangsa oleh suku bangsa lainnya, dan masih banyak lagi – semua ini terjadi karena ada standar keindahan yang salah dan obsesi terhadap keindahan tersebut.
Terkadang kita pun terfokus pada penampilan iman
Bukan hanya penampilan fisik, tetapi sering sekali kita terjebak ke dalam keinginan untuk memiliki penampilan iman yang sempurna. Mungkin hal ini tidak secara sengaja dilakukan, atau tidak dilakukan dengan sadar.
Kita semua ingin melakukan yang terbaik untuk Tuhan, ingin menampilkan yang paling indah untuk kemuliaan Tuhan. Tetapi sangat mudah untuk akhirnya jatuh kepada rutinitas dan lalu melupakan apakah motivasi kita yang terutama di dalam melayani Tuhan. Seringkali keindahan pelayanan itu sendiri menjadi fokus utama kita sehingga kita bukan lagi bersukacita atas Firman Tuhan yang diberitakan, melainkan gembira akan kesuksesan pekerjaan kita.
Tuhan Yesus sendiri menyorot hal ini di dalam masa pelayanannya di dunia. Orang-orang Farisi yang begitu rajin dan bersemangat mengerjakan pekerjaan agama, ternyata akhirnya dikritik oleh Tuhan. Pekerjaan dan penampilan mereka yang sempurna malah ternyata tidak diterima oleh Allah karena di dalam hati mereka, mereka tidak melandaskannya atas dasar kasih kepada Allah dan kepada sesama.
“Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa.
Matius 23:2-8 (TB)
Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.
Mereka mengikat beban-beban berat, lalu meletakkannya di atas bahu orang, tetapi mereka sendiri tidak mau menyentuhnya.
Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang;
mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat;
mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi.
Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara.
Tuhan melihat dan memeriksa hati manusia
Berbeda dengan kemampuan manusia yang hanya bisa melihat apa yang terlihat oleh mata, Tuhan mampu melihat ke dalam hati kita. Dan Dia melihat keindahan melampaui keindahan yang distandarkan oleh manusia.
Pada saat Samuel mencari Daud untuk mengurapinya menjadi raja, Samuel sempat terkesima melihat saudara-saudara Daud yang terlihat begitu gagah dan cakap. Namun Tuhan menegur Samuel dan berfirman,
Tetapi berfirmanlah TUHAN kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”
1 Samuel 16:7 (TB)
Tuhan melihat ke dalam hati kita untuk menemukan keindahan di dalam diri kita. Dia suka melakukannya dan mampu melakukannya. Dia adalah Tuhan yang mampu melihat kepada hati kita, mencari ke dalam motivasi kita yang paling dalam dan menilai segala perbuatan kita.
Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya.”
Yeremia 17:10 (TB)
Saya pernah mendengar seorang pendeta berkata, “Seperti apa adanya Anda ketika tidak ada seorang pun yang melihat, itulah Anda yang sebenarnya.” Ketika orang-orang tidak sedang melihat kepada kita, apa yang kita lakukan dan pikirkan, bagaimana kita bersikap dan menjalani kehidupan kita apa adanya, tanpa ada usaha untuk memberikan kesan yang baik atau menjaga penampilan – sedalam itu dan lebih dalam lagi, Tuhan mampu melihat kita seutuhnya.
Kemuliaan Allah di atas kemuliaan manusia
Tidak ada yang salah bila kita ingin mencapai keindahan. Merawat tubuh, menjaga penampilan, merawat rumah, dan melakukan pekerjaan sebaik-baiknya, itu semua adalah bagian dari mandat dan tugas yang diberikan Tuhan kepada kita sebagai manusia. Kita memang diutus oleh-Nya untuk melakukan yang terbaik agar bumi dan segala isinya (termasuk tubuh kita secara lahiriah) terpelihara dengan baik keadaannya.
Tapi apakah sukacita kita menjadi tergantung kepada hal-hal tersebut di atas? Bila kita sudah mengerjakan yang terbaik tetapi rumah kita masih belum rapi atau indah, atau kita melihat fisik kita tidak sempurna – apakah kita menjadi kesal dan menjadi tidak sejahtera?
Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah.
1 Petrus 3:3-4 (TB)
Apakah kita menuntut orang lain untuk memenuhi standar keindahan yang kita buat, lalu menjadi kecewa bahkan membenci bila mereka tidak dapat mencapainya? Apakah kebanggaan kita tergantung kepada penampilan kita, atau kepada keberhasilan pekerjaan kita?
Kemuliaan siapakah yang sebenarnya kita hendak cari ketika kita menjalankan tugas dari Allah ini? Bila kita melakukan dan menjadi yang terbaik, apakah itu untuk kemuliaan Dia yang sebenarnya adalah pemberi segalanya, atau itu untuk kemuliaan kita sendiri yang sudah merasa berlelah mengerjakannya?
“Hai anakku, perhatikanlah perkataanku, arahkanlah telingamu kepada ucapanku; janganlah semuanya itu menjauh dari matamu, simpanlah itu di lubuk hatimu. Karena itulah yang menjadi kehidupan bagi mereka yang mendapatkannya dan kesembuhan bagi seluruh tubuh mereka. Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.”
Amsal 4:20-23
Marilah kita dengan setia melakukan segala pekerjaan yang dipercayakan Tuhan kepada kita. Menjaga dan memelihara diri sendiri, anggota keluarga, dan bumi ini. Mengerjakan segala pekerjaan sepenuh hati.
Tetapi juga dengan rendah hati rutin memeriksa hati kita di hadapan Tuhan. Memeriksa apakah motivasi kita masih sesuai dengan apa yang Dia inginkan. Menjaga hati kita dengan waspada, karena Tuhan melihat ke dalam hati kita dan menemukan keindahan hidup kita di dalamnya. Amin.